Pernah merasa ndak? saat kita berada di lokasi yang jauh (entah itu berada di kota yang berbeda pulau atau bahkan negara yang berbeda), kemudian secara tak sengaja kita bertemu dengan orang yang berasal dari daerah yang sama dengan kita, biasanya kita akan langsung merasakan seperti bertemu dengan keluarga sendiri. Meskipun sebelumnya tidak pernah saling kenal, tetapi sensasi yang muncul adalah perasaan dekat seperti bertemu dengan keluarga sendiri. Perasaaan itu juga yang saya rasakan saat bertemu dengan orang Indonesia di Switzerland. Momen yang cukup langka, benar-benar tidak disangka-sangka dan saya pikir cukup layak menjadi topik bahasan kali ini.
Bertemu dengan Ibu Esti di Bandara Zurich
Tak Sengaja Bertemu
Hari itu Rabu 18 Desember 2019, sekitar satu minggu sebelum virus Corona mulai muncul dan menjadi pandemi global hingga sekarang. Saat itu adalah hari terakhir kami berada di Switzerland, setelah sekitar 10 hari tinggal disana untuk keperluan pekerjaan kantor. Selama berada di negeri dongeng itu, kami tinggal di sebuah desa kecil bernama Lyss. Jarak dari lokasi tempat tinggal kami di Lyss dengan Bandara Zurich sekitar 3 jam perjalanan menggunakan kereta antar kota. Tidak dekat, namun juga tidak terlalu jauh juga. Teman-teman bisa membayangkan seperti perjalanan dari Madiun ke Surabaya.
Jadwal keberangkatan pesawat kami yaitu pukul 22.00 waktu setempat. Memang masih lama, namun karena ini adalah penerbangan Internasional kami berangkat lebih awal (minimal 3 jam sebelum take-off harus sudah berada di Bandara). Kami berangkat selepas dhuhur. Dengan sedikit sedih hati, kami harus meninggalkan Lyss. Meski sebentar, pengalaman ini menjadi salah satu yang terbaik bagi kami.
Setelah sekitar 3 jam perjalanan kereta, kami tiba di Stasiun Zurich. Yang menarik di Switzerland adalah moda transportasi yang terintegrasi, khas negera maju. Stasiun Zurich berada di satu lokasi dengan Bandara Zurich. Hal ini juga yang mengurangi kekhawatiran kami ketika pertama kali akan berangkat ke Swiss, kemana-mana sangat mudah sekali menggunakan tranporasi umum. Akhirnya kami tiba di bandara Zurich di sore hari, sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Masih ada sedikit waktu untuk berjalan-jalan di sekitar area Bandara. Menikmati senja.
Setelah menitipkan koper di Bandara, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di area bandara baik di luar maupun di dalam. Target pertama adalah area di luar bandara. Di luar Bandara kami bisa melihat terminal Bus dan Tram. Disini tentu saja tidak akan kita temukan adanya calo-calo yang mencari calon penumpang bus karena sistem ticketing di negara ini sudah yang rapi. Calon penumpang dapat menggunakan moda transportasi apapun dengan tujuan kemanapun dengan rasa nyaman dan aman. Asyik kan?
Sekitar 30 menit-an kami menikmati suasana di luar bandara Zurich. Melihat orang lalu lalang masuk dan keluar bandara. Meski dingin, namun suasana ini benar-benar menyenangkan. Bisa jadi ini pengalaman yang tidak berulang. Kesempatan ini kami maksimal-kan sebisa mungkin. Menikmati senja di bandara Zurich.
Suasana di Depan Bandara Internasional Zurich |
Terminal Bus yang berada di area bandara Zurich |
Setelah puas menikmati pemandangan senja di luar bandara, kami memutuskan untuk masuk kembali ke dalam bandara, mencari tambahan oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Biasanya di dalam bandara mudah ditemukan toko-toko yang menjual cinderamata khas dari negara tersebut. Saya sedang mencari oleh-oleh berupa gantungan kunci.
Bertemu Bu Esti
Sebelum masuk kembali ke dalam bandara, Ervani (salah satu rekan kami) tiba-tiba menyeletuk memberitahu kami bahwa ada seseorang perempuan berwajah Indonesia mengenakan hijab tengah berjalan masuk ke dalam bandara. Pikir kami, wah jarang-jarang lho kami berpapasan dengan orang Indonesia di luar negeri, apalagi di negara Swiss ini.
Saya agak lupa siapa yang duluan menyapa, pada akhirnya kami pun bertegur sapa. Beliau memperkenalkan diri bernama Ibu Esti dan sudah belasan tahun tinggal di Swiss menemani sang suami yang bekerja di sana.
Paling kanan adalah bu Esti, sudah lama tinggal di Switzerland |
Ternyata Dunia Itu Sempit
Meski bertemu hanya sebentar, rupanya cukup banyak bahasan yang kami bicarakan. Mulai dari cerita bagaimana beliau sampai bisa berada di Swiss, bagaimana kisah beliau bisa tinggal lama di negara paling indah di Eropa. Singkat cerita beliau tinggal di Swiss karena mengikuti suaminya yang sedang bekerja di Swiss. Namun di tengah perbincangan ada sesuatu yang mengejutkan. Ternyata suami bu Esti adalah senior saya waktu di Kampus. What! kok bisa begitu ya? saya sempat terkaget. Wah, dunia ternyata memang sempit ya.
Suami beliau bernama pak Bondan, merupakan E28 (sebutan angkatan ke-28 di Teknik Elektro ITS). Sedangkan saya sendiri merupakan angkatan ke-43 atau disebut dengan E43. Berarti saya dan beliau selisih 15 tahun.
Bu Esti mengaku sering jalan-jalan ke Bandara Zurich karena selain jarak rumah beliau dengan bandara cukup dekat, Bandara Zurich terintegrasi dengan Mall. Sehingga pergi ke bandara itu seperti jalan-jalan ke Mall. Sesederhana itu ^_^.
Saya lupa dengan jumlah dari anak-anak beliau, tetapi ada satu anak perempuan beliau yang diajak jalan-jalan di Bandara saat itu. Anak itu juga lahir dan besar di Swiss. Beliau mengaku tetap mengajarkan bahasa Indonesia agar ia tetap bisa menggunakan bahasa Indonesia meskipun di sekolah menggunakan bahasa Swiss-German.
Saatnya Berpisah
Pertemuan itu hanya sebentar, dan kini saatnya untuk kami pamit untuk melanjutkan jalan-jalan mencari oleh-oleh gantungan kunci. Tak lupa kami bertukar nomor handphone agar bila suatu saat kami bertemu kembali di Swiss (semoga suatu saat nanti), beliau agar diberitahu bila kita membutuhkan bantuan dari beliau. Wah.. baik banget kan ^_^.
Dan begitulah pertemuan singkat kami dengan Ibu Esti di negeri dongeng Switzerland. Pertemuan yang singkat, namun bermakna. Saya berharap suatu saat ada kesempatan saya bisa menginjakkan kaki kembali di Swiss. Ada banyak daerah yang belum sempat saya kunjungi kemarin, Interlaken, Grindelwald, Murren, dan lainnya. Semoga ya, Bismillah.