Ketika berada di Bali, awalnya saya jujur.. cukup ragu dengan makanan yang disediakan oleh pemilik restauran. Ini bukan berarti saya meragukan panitia yang memilih restauran, tetapi lebih karena keraguan murni ada dalam hati saya. Tapi dengan kepercayaan saya kepada guru-guru pendamping dan panitia yang sudah lelah mempersiapkan acara, saya pun akhirnya menyantap makanan yang sudah disediakan tanpa ragu lagi. Bismillah.. dengan penuh keyakinan insyaAllah makanan yang saya makan.. halal.
Dan ceritanya kemarin tiba-tiba ada sahabat saya yang mengirimkan message menanyakan mengenai makanan tentang halal dan haramnya. Kondisi memang mengantarkan dia sulit menemukan makanan halal dengan minimnya komunitas muslim tempat dia bekerja, kecuali jika dia memasak makanan sendiri dari rumah. Tentu dalam hal ini saya harus berhati-hati dalam memberikan jawaban, toh saya bukan orang yang capable untuk menjawab ini ( bukan seorang ustadz.., kyai.. apalagi ulama ). Ah.. konco dhewe bilang tahu ya dijelaskan.. kalau ndak tahu ya bilang tidak tahu.
Diapun mulai menjelaskan mengenai kondisi makanan yang dia hendak makan. Saya cermati deretan message yang dia kirimkan, sambil sesekali mangguk-mangguk kayak burung beo. Setelah berpikir sejenak.. saya bisa menyimpulkan bahwa kondisi ini sudah berada di ranah abu-abu. Agak membingungkan memang kondisinya, saya pun sudah bersiap-siap untuk menjawabnya tidak tahu. Namun..eiit.. tunggu dulu.. sepertinya saya ingat sesuatu. Saya pernah membaca dimana gitu ( saya lupa ), bahwa perasaan kita itu, memiliki prosentase tinggi menentukan sebuah makanan itu halal atau haram. Sayapun kemudian bertanya, " Kamu ragu ndak, memakan makanan seperti ini kawan?". " Saya sih ragu fin ". Dan sayapun akhirnya mantab menjawab, " Kalau kita masih ragu memakan suatu makanan, maka berdasarkan sunnah Rasul keraguan kita itu sudah cukup menjadi alasan kita untuk meninggalkan memakan makanan seperti itu". Karena memang dalam memilih makanan itu selain halal juga harus baik (thoyib), tak hanya jelas oleh mata tapi juga harus jernih oleh hati.
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib r.a. berkata:
“Saya menghafal dari Rasulullah s.a.w.: Tinggalkanlah apa yang engkau ragukan dan kerjakanlah apa yang tidak engkau ragukan. Sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan dan dusta itu menimbulkan kebimbangan”
(HR At-Tirmizi)
* Seringkali kita berada di posisi yang serba abu-abu, tidak hanya soal makanan. Semoga Allah senantiasa mencerahkan mata hati kita, untuk melihat hal yang benar itu memang benar adanya dan hal yang salah itu terlihat jelas salahnya,.. yang halal itu jelas halalnya dan yang haram itu jelas haramnya
wallahualam..
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya ya sobat blogger. Terima kasih juga sudah menggunakan kalimat yang sopan serta tidak mengandung unsur SARA dan pornografi. Komentar yang tidak sesuai, mohon maaf akan dihapus tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Btw, tunggu kunjungan saya di blog anda yah.. salam blogger