Dengan kaki nyeker kami terus menyusuri jalan setapak yang kebanyakan daerah rawa. Terlihat beberapa petani masih terus sibuk menyiangi ladang mereka memastikan hasil pertanian kali ini lebih baik. Tak lama kemudian kami sampai juga di sungai. Gemericik air sungai menambahkan suasana riang siang ini. Saya lihat ada beberapa mbah-mbah yang sibuk memanen sayur kangkung. Sungai ini membujur dari daerah hulu yang terletak di sebelah barat menuju ke daerah lebih landai di timur. Entah nama sungai ini apa, yang jelas sumber terbesar sungai ini adalah berasal dari gunung Bancak dan gunung Lawu. Air sungai kala itu masih sangat jernih. Belum ada penambang pasir yang akhirnya merusak semuanya. Sekarang sering terjadi erosi di pinggir sungai yang berbatasan langsung dengan ladang jagung milik bapak saya.
Kami langsung menyusuri beberapa pohon yang rindang di pesisir sungai. Di belantaran sungai ini banyak sekali pohon rindang yang dihinggapi berbagai jenis burung. Suara ramai burung ini sebagai bukti banyaknya jumlah mereka. Tanpa berpikir lama kami langsung memasang kuda-kuda sambil meraih senjata ketapel kami. Mata langsung memandang ke atas pohon sengon. Wah ada burung Betet yang warnanya sangat bagus. Burung itu terlihat celingak-celinguk tanpa memerhatikan ada bahaya yang sedang mengancam. Dan tiba-tiba saja..
wuss... wuss... 2 butir peluru tanah lempung sudah melesat menghujam ke sasaran. Rupanya kang man dan andrik yang melesakkan peluru tadi. Namun sayang sekali masih belum mengenai sasaran. Peluru lempung kang Man hampir mengenai hanya selisih beberapa centimeter saja. Sedangkan peluru andrik masih jauh dari sasaran untuk tidak dibilang tembakannya ngawur. Diatara geng pemburu kami, kemampuan membidik terbaik adalah milik kang Man, kemudian saya dan terakhir yang masih banyak belajar adalah Andrik. Talenta membidik kang Man memang patut diacungi jempol. Selama ini perolehan burung paling banyak adalah hasil bidikan kang Man. Mendengar dahan yang gemrosok terkena peluru, burung itu menyadari ada bahaya yang mengancam. Akhirnya si Betet pun terbang menjauh. Saya pun mendesah sebal. Bukan karena gagalnya peluru mengenai sasaran, namun lebih karena saya belum mendapat kesempatan kali ini. Kang man (pimpinan geng pemburu burung) membesarkan hati saya bahwa masih akan ada banyak kesempatan yang lain.
Dan benar saja, jika kita jeli mengamati ke pohon-pohon rindang itu, banyak berkeliaran burung-burung. Kami memutuskan untuk berpencar. Mencari bidikan masing-masing sambil terus berusaha menjaga langkah kami agar tidak menimbulkan banyak suara yang tentu akan membuat mangsa lari. Mulai dari burung kutilang, burung emprit, burung betet, burung derkuku, dan masih banyak jenis lainnya yang kita tidak tahu namanya sedang asik loncat berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Di saat saya tengah berkonsentrasi penuh menenangkan hati dan tangan saya supaya bisa mengenai sasaran kali ini tiba-tiba...
"Kang Maaan... Mas Fifiiiin... itu ada burung Bubut hitam sedang bersembunyi di balik pohon bambu!!", si Andrik berteriak yang sontak membubarkan konsentrasiku sambil telunjuknya mengarah ke arah pohon bambu di dekat kami.
Meski sempat mendengus sebal, tentu kata-kata "bubut" tetap terdengar istimewa ditelinga kami. Kami bertiga akhirnya mengendap-ngendap ke arah pohon bambu yang tadi ditunjuk Andrik.
"Manaa..??!!", aku yang masih belum bisa melihat burung Bubut bertanya mendesis ke Andrik.
"Ituu... ada di dahan kedua dari barat, warnanya yang hitam legam itu lho", suara Andrik nyaris tak terdengar, tapi jari telunjuknya hampir menjelaskan semuanya.
Pasti bidikan saya kali ini akan mengenai sasaran. Masak burung sebesar itu bisa lolos lagi. Dan tanpa ba bi bu... peluru lempung kami sudah wuss... wuss..wuss melesat ke arah burung Bubut itu. Dan ..puukkk...krosaak... satu tembakanku kali ini tidaklah meleset. Menghujam tajam ke arah Bubut, namun ternyata peluru tanah lempung memang tak setajam peluru kerikil atau kelereng. Burung Bubut itu tetap tidak jatuh apalagi menderita, dia tetap bisa bebas terbang ke arah pohon bambu lainnya sambil berteriak kwak...kwak... seakan menertawakan kami.
**cerita akan dilanjutkan ke postingan berikutnya
hwiii... berburu burung. aku kalo acara nembak2 gitu gak pernah bisa mas. padahal uda pake senapan panjang punya papa. tapi tetep susah kalo ngepas-in ke sasaran tembaknya. hehe
BalasHapus*menyimak dan menunggu lanjutannya
BalasHapus@armae : wuih dah modern tuh make senapan laras panjang.. , kita masih make ketapel..
BalasHapus@puchsukahujan : siipp... sedang diingat-ingat cerita berikutnya..
Wah itu burung bubutnya hewan langka yang dilindungi atau gak fin ? jangan2....:D. klo dulu sy pakai jebakan fin, buat lubang ditutupi dgn kayu2 dan dikasih pengait yg mudah tumbang. di dalamnya dikasih umpan. ditinggal begitu aja, besoknya baru diliat lagi, eh ternyata dapet.....nya kosong, diliat besoknya kosong juga.
BalasHapuswaktu kecil tangan sy dulu juga terampil buat ketapel, mainan mobil roda 3 dari bambu & ban sandal, buat kesetimbangan bambu yg bentuknya segitiga dgn 2 bola kentang di ujung bawahnya.
@iput : burung bubutnya bukan hewan langka put.. itu burung banyak banget ditemukan di daerah pesisir sungai khususnya di semak-semak pohon bambu. Itu ketika saya masih kecil sih, kalau sekarang masih ada ndak ya?
BalasHapuswah saya dulu juga pernah make jebakan juga put, namun khusus untuk burung kutilang. Kalau burung yang lain cari umpannya susah dan kadang kita ga tahu makanannya apa. Kalau burung kutilang jelas buah-buahan terutama pepaya.
Dulu pernah dapat dua burung kutilang terus dijual ke temannya bapak eh dapat deh uang 13 ribu. lumayan ^_^... bisa beli jajan...
wah, gimana nih!
BalasHapusdiawal saya pikir ceritanya tentang "pergi ke ladang di hari yang cerah"..eh ternyata malah berburu burung..kan kasihan burungnya ditembaki *semangat berkeperiburungan*..hehehehe..
gaya berceritanya bagus mas, ngalir ternikmati..
tapi tetap saja, saya ga setuju ada acara perburuan burung!
(kalo betetnya ketembak satu, boleh ya mas buat saya -=gubrak=-)
@pelancongnekad : he he maklum mas masih kanak-kanak... kurang ngerti konservasi burung...
BalasHapustenang mas.. selama saya dan geng pemburu burung beraksi, jarang banget membawa pulang buruan. Kebanyakan hasilnya nol besar. he he...
pernah sekali dua kali namun itupun ndak mati, dibawa pulang trus dipelihara di sangkar. Maklum kan pelurunya lembek dari tanah lempung ^_^