Ketika kita berbicara kehidupan penulis sastra, maka yang ada dalam benak kita adalah rasa sosial yang tinggi. Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana untaian tulisannya mampu menyapa sekian banyak orang. Sajak dan puisinya mampu menggugah dan menguatkan jiwa dan hati pembacanya. Melantunkan bait-bait puisi yang indah nan dalam, serasa menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya. Maka saya langsung teringat dengan sebuah ungkapan bahwa 'Tulisan/lisan yang bersumber dari hati, maka akan jatuh mengena ke hati pula bagi yang membaca/mendengarkannya'. Sastra yang bagus adalah sastra yang bersumber dari hati. Maka tak heran seorang sahabat Nabi yang mulia, Umar Bin Khattab pernah mengungkapkan "Ajarkanlah anak-anakmu sastra, karena sesungguhnya sastra itu menguatkan sekaligus melembutkan hati".
Lain halnya kalau kita berbicara mengenai kehidupan seorang engineer atau ilmuwan. Dengan latar belakang ilmu eksakta, terkadang kehidupan manusia jenis ini sedikit terbilang anti sosial. Saya tidak mengatakan semuanya, tapi sebagian besar mengalami nasib seperti itu. Seorang engineer/ilmuwan sedikit banyak kehidupannya dihabiskan dengan mempelajari bidang ilmu yang dia digeluti. Dengan bekal eksploitasi otak kiri, mengotak-atik rumus-rumus baru, membaca paper internasional untuk kemudian diterjemahkan dalam sintac program yang dia kembangkan. Seringkali yang ia hadapi bukanlah manusia yang memiliki perasaan. Yang ia hadapi kebanyakan adalah kertas-kertas rumus atau komputer yang sama sekali tidak memiliki perasaan. Maka ada ungkapan lucu yang mengatakan 'Engineer itu sungguh tidak punya perasaan' :) .
Fenomena engineer yang anti sosial ini rupanya dipelajari dan dikembangkan dengan sangat baik oleh pegiat film drama di Jepang. Adalah dorama yang berjudul Kekkon Dekinai Otoko berhasil mendeskripsikan dengan baik jiwa anti sosial seorang engineer. Film ini menceritakan bagaimana seorang arsitek yang sangat berhasil dalam karirnya, namun kurang bisa berkomunikasi dengan baik kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Seringkali dia melontarkan kalimat yang tidak nyaman kepada rekan-rekan di kantor dan juga tetangga apartemennya. Dengan tingkah lakunya yang seperti itu akhirnya dia dijauhi oleh orang-orang yang baru saja mengenalnya. Bahkan orang yang sudah lama mengenalnya pun tidak diijinkan berkunjung ke rumahnya. Selepas pulang kantor dia seringkali menyendiri di dalam apartemennya. Dan kalaupun dalam hal makan, dia selalu saja suka makan sendiri, cenderung tidak pernah mengajak makan rekan-rekan di kantor. Rupanya dia terjangkit sebuah virus rasa anti sosial tingkat akut. Satu hal yang membuat orang-orang disekitarnya tetap 'mendekatinya', adalah kompetensi dalam hal pekerjaan yang dia kuasai.
Berbicara mengenai diri sendiri, sejak kecil saya sudah mulai menyukai hal-hal yang berbau eksak. Maka ketika masuk ke jenjang perguruan tinggi saya memilih bidang ilmu eksakta. Itu lebih karena saya merasa disitulah bakat saya ada dan terus berkembang. Namun 2-3 tahun terakhir ini saya mulai menyukai hal-hal yang berbau sastra. Sebenarnya saya sendiri tidak terbilang anti sosial juga. Namun disini saya mulai sadar bahwa sebenarnya saya memiliki peluang emas untuk sedikit menutupi rasa anti sosial ke-engineer-an saya. Yah.. dengan menulis, saya merasa sedang menyapa banyak orang. Berkomunikasi dengan mereka yang mungkin secara fisik tidak dekat.
Jadi teringat kata-kata Habiburahman El Shirazy dalam novel Cinta Suci Zahrana yang mengatakan bahwa :
Lain halnya kalau kita berbicara mengenai kehidupan seorang engineer atau ilmuwan. Dengan latar belakang ilmu eksakta, terkadang kehidupan manusia jenis ini sedikit terbilang anti sosial. Saya tidak mengatakan semuanya, tapi sebagian besar mengalami nasib seperti itu. Seorang engineer/ilmuwan sedikit banyak kehidupannya dihabiskan dengan mempelajari bidang ilmu yang dia digeluti. Dengan bekal eksploitasi otak kiri, mengotak-atik rumus-rumus baru, membaca paper internasional untuk kemudian diterjemahkan dalam sintac program yang dia kembangkan. Seringkali yang ia hadapi bukanlah manusia yang memiliki perasaan. Yang ia hadapi kebanyakan adalah kertas-kertas rumus atau komputer yang sama sekali tidak memiliki perasaan. Maka ada ungkapan lucu yang mengatakan 'Engineer itu sungguh tidak punya perasaan' :) .
Fenomena engineer yang anti sosial ini rupanya dipelajari dan dikembangkan dengan sangat baik oleh pegiat film drama di Jepang. Adalah dorama yang berjudul Kekkon Dekinai Otoko berhasil mendeskripsikan dengan baik jiwa anti sosial seorang engineer. Film ini menceritakan bagaimana seorang arsitek yang sangat berhasil dalam karirnya, namun kurang bisa berkomunikasi dengan baik kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Seringkali dia melontarkan kalimat yang tidak nyaman kepada rekan-rekan di kantor dan juga tetangga apartemennya. Dengan tingkah lakunya yang seperti itu akhirnya dia dijauhi oleh orang-orang yang baru saja mengenalnya. Bahkan orang yang sudah lama mengenalnya pun tidak diijinkan berkunjung ke rumahnya. Selepas pulang kantor dia seringkali menyendiri di dalam apartemennya. Dan kalaupun dalam hal makan, dia selalu saja suka makan sendiri, cenderung tidak pernah mengajak makan rekan-rekan di kantor. Rupanya dia terjangkit sebuah virus rasa anti sosial tingkat akut. Satu hal yang membuat orang-orang disekitarnya tetap 'mendekatinya', adalah kompetensi dalam hal pekerjaan yang dia kuasai.
Berbicara mengenai diri sendiri, sejak kecil saya sudah mulai menyukai hal-hal yang berbau eksak. Maka ketika masuk ke jenjang perguruan tinggi saya memilih bidang ilmu eksakta. Itu lebih karena saya merasa disitulah bakat saya ada dan terus berkembang. Namun 2-3 tahun terakhir ini saya mulai menyukai hal-hal yang berbau sastra. Sebenarnya saya sendiri tidak terbilang anti sosial juga. Namun disini saya mulai sadar bahwa sebenarnya saya memiliki peluang emas untuk sedikit menutupi rasa anti sosial ke-engineer-an saya. Yah.. dengan menulis, saya merasa sedang menyapa banyak orang. Berkomunikasi dengan mereka yang mungkin secara fisik tidak dekat.
Jadi teringat kata-kata Habiburahman El Shirazy dalam novel Cinta Suci Zahrana yang mengatakan bahwa :
Mengungkapkan perasaan lewat tulisan itu lebih mudah daripada lewat lisan. Karena jika kita salah dalam kata, maka dengan sekejap kita bisa mengganti struktur kalimatnya sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Berbeda ketika kita mengungkapkan perasaan lewat lisan, kalau kita salah dalam berkata-kata, kemungkinan bisa saja dipahami salah oleh objek bicara.
hallooowwwww...
BalasHapuspa kabar Mas Fin
dah lama nih saya tak main kesini
btw, baru ngeh juga saya kalo sastrawan punya sifat universal seperti itu. Begitu pun para engineer..bagus lah dibuat film, dan ditonton sama orang2 yang antisosial itu..biar pada ngeh *gubrak*
wah... lama ga nongol mas :)
Hapusmelancong kemana aja nih?
engineer yang nyastra, wow!
BalasHapuskalau begitu saya pun mau jadi apoteker yang nyastra juga ^_^
yukk semangat mbak puch.. mari kita bikin komunitas menulis..
Hapusperasaan manusia dan respon-nya adalah suatu struktur tersendiri... yg unique antara manusia yg satu dan lainnya... kalau nggak bisa menggunakan perasaan dg tepat, paling tidak masih bisa menggunakan lookup table stimulus vs response dalam hubungan sosial... setidaknya seolah jd "berperasaan"...
BalasHapuswah bahasanya mas dayat ini dalam banget yah :).
Hapussebenarnya tuh bagi engineer justru kita gak hanya jago dalam urusan pekerjaan saja, tapi dalam muamalah atau sosial kita juga harus pandai. So jadi harus imbang antara engineer dan sosial.
BalasHapussip manteb put, musti seimbang sebagai engineer dan sosial.
Hapus