Jumlah barisan jamaah sholat subuh di masjid yang terletak 5 meter dari kontrakan saya ini hanya satu shaf (kurang lebih 10 orang). Alhamdulillah, masih jauh lebih banyak dibandingkan di kampungku di Magetan sana yang seringkali makmumnya cuma 2-3 orang. Selesai sholat, sejenak berhenti di baranda masjid sambil memandang ke atas. Langit yang gelap itu terasa sendu, menumpahkan ber ton-ton air hujan dari langit ke permukaan bumi. Yah.. subuh ini, hujan deras tengah mengguyur kota ini. Denting rinai hujan terdengar sangat merdu. Semoga ini pertanda keberkahan yang semoga Allah turunkan hari ini.
Dan ketika saya menulis postingan ini, di layar komputer sebelah kanan bawah terpampang pukul 6.06 AM, suara gemercik air hujan yang menghantam lembut ke genting rumah masih sayup-sayup terdengar. Merdu sekali. Bagi saya hujan di pagi hari ini memberikan kesan yang sangat mendalam. Dan tiba-tiba saja, pointer di kelapa saya langsung menunjuk ke memory kenangan belasan tahun silam. Wah, entah kenapa beberapa hari terakhir ini saya suka menggunakan istilah pointer dan memory yah? ^_^.
Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Jalan di depan rumah masih belum di aspal. Sehingga praktis jika hujan tiba, jalanan pasti langsung becek. Bahkan dulu pernah sering ada angkutan truk yang terjerembab tak bisa melanjutkan perjalanan. Roda truk yang besar itu tak mampu memanfaatkan gaya gesek dengan tanah berlumpur yang tentu sangat licin.
Dulu ketika hujan turun di pagi hari, anak-anak seusia saya sangat senang sekali. Yah apalagi kalau bukan adanya kemungkinan tidak bersekolah jika hujan sangat deras. Atau boleh terlambat ke sekolah dengan alasan yang sama. Namun kalau hujannya tidak terlalu deras, saya sering melihat teman-teman seusia saya di kampung seringkali memanfaatkan daun pisang sebagai payung. Yah, sebuah pemandangan yang sangat eksotis. Mereka biasanya terlihat berombongan naik sepeda menuju sekolah. Ada yang berboncengan, ada juga yang terlihat sendiri. Jika berboncengan, biasanya payung daun pisang itu dibawa oleh mereka yang dibonceng. Entahlah, kondisi perekonomian saat itu sedang susah, untuk membeli payungpun rasanya enggan. Kalaupun ada, biasanya digunakan orang tua mereka untuk pergi ke sawah.
Lha.. saya sendiri bagaimana?. Sayang saya tidak bersekolah di SD di kampung. Orang tua saya memilihkan SD di daerah kota kecamatan. Jadi setiap pagi, saya pergi ke sekolah bareng dengan Ibu saya yang juga seorang guru SD di kota kecamatan juga. Namun sebelum berangkat, biasanya saya akan duduk-duduk di baranda rumah sambil melihat teman-teman sepermainan yang berangkat sekolah naik sepeda. Dan jika sedang hujan seperti ini, biasanya saya akan meneriaki mereka supaya hati-hati. Dan tentu saja, takjub memandangi usaha keras mereka menghalau air hujan yang coba membasahi badan demi untuk menuntut ilmu. Subhanallah.
Pernah memakai payung daun pisang kawan?
Dan ketika saya menulis postingan ini, di layar komputer sebelah kanan bawah terpampang pukul 6.06 AM, suara gemercik air hujan yang menghantam lembut ke genting rumah masih sayup-sayup terdengar. Merdu sekali. Bagi saya hujan di pagi hari ini memberikan kesan yang sangat mendalam. Dan tiba-tiba saja, pointer di kelapa saya langsung menunjuk ke memory kenangan belasan tahun silam. Wah, entah kenapa beberapa hari terakhir ini saya suka menggunakan istilah pointer dan memory yah? ^_^.
Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Jalan di depan rumah masih belum di aspal. Sehingga praktis jika hujan tiba, jalanan pasti langsung becek. Bahkan dulu pernah sering ada angkutan truk yang terjerembab tak bisa melanjutkan perjalanan. Roda truk yang besar itu tak mampu memanfaatkan gaya gesek dengan tanah berlumpur yang tentu sangat licin.
Dulu ketika hujan turun di pagi hari, anak-anak seusia saya sangat senang sekali. Yah apalagi kalau bukan adanya kemungkinan tidak bersekolah jika hujan sangat deras. Atau boleh terlambat ke sekolah dengan alasan yang sama. Namun kalau hujannya tidak terlalu deras, saya sering melihat teman-teman seusia saya di kampung seringkali memanfaatkan daun pisang sebagai payung. Yah, sebuah pemandangan yang sangat eksotis. Mereka biasanya terlihat berombongan naik sepeda menuju sekolah. Ada yang berboncengan, ada juga yang terlihat sendiri. Jika berboncengan, biasanya payung daun pisang itu dibawa oleh mereka yang dibonceng. Entahlah, kondisi perekonomian saat itu sedang susah, untuk membeli payungpun rasanya enggan. Kalaupun ada, biasanya digunakan orang tua mereka untuk pergi ke sawah.
Lha.. saya sendiri bagaimana?. Sayang saya tidak bersekolah di SD di kampung. Orang tua saya memilihkan SD di daerah kota kecamatan. Jadi setiap pagi, saya pergi ke sekolah bareng dengan Ibu saya yang juga seorang guru SD di kota kecamatan juga. Namun sebelum berangkat, biasanya saya akan duduk-duduk di baranda rumah sambil melihat teman-teman sepermainan yang berangkat sekolah naik sepeda. Dan jika sedang hujan seperti ini, biasanya saya akan meneriaki mereka supaya hati-hati. Dan tentu saja, takjub memandangi usaha keras mereka menghalau air hujan yang coba membasahi badan demi untuk menuntut ilmu. Subhanallah.
Pernah memakai payung daun pisang kawan?
Pernah. :-D
BalasHapusDan sensasinya jauh lebih seru daripada memakai payung biasa.
bener banget mbak. Sensasinya luar biasa. Cuma untuk masa sekarang, kesempatan-kesempatan seperti ini jarang kita jumpai
Hapuspernah mas...kdang buka sepatu walau kadang melewati jalan aspal. sayang sama sepatu, tkut sepatunya basah. ntr bsok gag bisa sekolah. klau gag dri rumah pake sandal jepit ke skolah, trus nyampe dikelas diganti sama sepatu.hehe
BalasHapuswah pernah ya... sungguh kenangan-kenangan yang mungkin susah untuk kita lupakan. Pengen rasanya reka ulang kejadian masa kecil kita he he
Hapussaya dulu gak pakai daun pisang, tapi pake daun sukun
BalasHapustau daun sukun gak pak?
itu yang bergerigi di pinggir2nya
jadi ya percuma, tetep aja basah :lol:
daun sukun yang lebar itu yah.
Hapusmeski tetap basah tapi sensasinya luar biasa mbak puch.
tumben sekarang ndak pake 'sukahujan', udah ga suka hujan kah?
biar simple aja tuh nulisnya
Hapusmasih suka hujan kok, meski gak suka hujan-hujanan :D
memori daun pisang... he...
BalasHapus