"Jangan dihabiskan airnya, bagikan secara rata kepada seluruh teman kalian!"
Dengan menyeringai galak, kakak-kakak yang lebih senior itu menyuruh kami untuk jangan menghabiskan air minum yang dibagikan kepada kami. Kami harus menyisakan air yang hanya seliter air botol kemasan itu kepada puluhan rekan-rekan kami yang sedang kehausan. Yah.. beginilah suasana pengkaderan/ospek jurusan mahasiswa teknik tempat saya menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Keadaan dibuat semenderita mungkin, untuk memunculkan efek empati. Sebelumnya, kami disuruh berlari memutari kampus yang jaraknya lumayan jauh. Panas mentari pagi membuat peluh mengalir deras membasahi badan kami. Belum lagi kami juga harus meneriakkan yel-yel khas jurusan yang semakin membuat kerongkongan kami terasa kering. Namun hal ironi terjadi, kakak-kakak senior malah ada yang asik menaiki sepeda motor bercanda dengan santainya. Sesekali mereka meneriaki kami yang kepayahan.
"Jangan dihabiskan, ada diantara temanmu yang belum minum, dimana empati kalian!!".
Tentang Empati
Waktu itu yang terpikir dalam diri ini hanya kenapa tidak dibelikan saja air minum yang banyak sekalian, sehingga kami bisa minum sewajarnya. Namun lagi-lagi dalihnya adalah niat mendidik kami belajar soal empati. Ah empati, makanan apa itu?. Ah sok belajar empati, bagaimana kami bisa mempelajarinya tapi pada saat yang sama, kalian para senior dengan tanpa malu menenteng dan meminum air botol kemasan itu sepuasnya. Kalau kami diijinkan sedikit bertanya, "Wahai senior, kalian mengajari kami soal empati, tapi dimana empati kalian ketika dengan tidak malu, kalian seenaknya meminum air botol melimpah itu sepuasnya!".
Hal senada terjadi beberapa hari kemarin. Ketika saya hendak pulang ke kampung halaman menggunakan jasa kereta api. Saat itu saya membuka lembaran tiket yang sudah ada digenggaman. Tertulis posisi kursi adalah 6B, artinya duduk saya berada di tengah (tidak berada di dekat jendela yang sering menjadi posisi favorit saya). Pada posisi ini, sebenarnya tidak terlalu bermasalah bagi saya, biasa saja. Tapi akan menjadi tidak biasa, ketika kursi di depan saya diputar 180 derajat sehingga posisi menjadi berhadap-hadapan dengan kursi tempat saya duduk. Sungguh sangat tidak nyaman. Adalah orang yang ada di sebelah saya yang tidak punya empati membuat saya menjadi salah tingkah. Mana dihadapan saya ini seorang wanita lagi. Memang mereka yang ada di depan saya adalah anggota keluarga dari orang yang ada di sebelah saya. Normal jika mereka ingin asik ngobrol, tapi ini loh ada saya!. Emang saya patung!. Saya merasa seperti tamu di tempat duduk saya sendiri. Tamu utusan di wilayah 'kekuasaan' saya sendiri. Lagi-lagi ini bicara tentang rasa.
Nah pada kondisi seperti ini, rasa empati harus di tempatkan pada posisinya. Harus ada prinsip kesetaraan, jangan sampai ada ungkapan 'enak di kamu, ndak enak di saya!'. Entahlah, mungkin tiap orang memiliki kadar empati yang berbeda-beda, karena empati itu soal rasa.
Dengan menyeringai galak, kakak-kakak yang lebih senior itu menyuruh kami untuk jangan menghabiskan air minum yang dibagikan kepada kami. Kami harus menyisakan air yang hanya seliter air botol kemasan itu kepada puluhan rekan-rekan kami yang sedang kehausan. Yah.. beginilah suasana pengkaderan/ospek jurusan mahasiswa teknik tempat saya menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Keadaan dibuat semenderita mungkin, untuk memunculkan efek empati. Sebelumnya, kami disuruh berlari memutari kampus yang jaraknya lumayan jauh. Panas mentari pagi membuat peluh mengalir deras membasahi badan kami. Belum lagi kami juga harus meneriakkan yel-yel khas jurusan yang semakin membuat kerongkongan kami terasa kering. Namun hal ironi terjadi, kakak-kakak senior malah ada yang asik menaiki sepeda motor bercanda dengan santainya. Sesekali mereka meneriaki kami yang kepayahan.
"Jangan dihabiskan, ada diantara temanmu yang belum minum, dimana empati kalian!!".
Waktu itu yang terpikir dalam diri ini hanya kenapa tidak dibelikan saja air minum yang banyak sekalian, sehingga kami bisa minum sewajarnya. Namun lagi-lagi dalihnya adalah niat mendidik kami belajar soal empati. Ah empati, makanan apa itu?. Ah sok belajar empati, bagaimana kami bisa mempelajarinya tapi pada saat yang sama, kalian para senior dengan tanpa malu menenteng dan meminum air botol kemasan itu sepuasnya. Kalau kami diijinkan sedikit bertanya, "Wahai senior, kalian mengajari kami soal empati, tapi dimana empati kalian ketika dengan tidak malu, kalian seenaknya meminum air botol melimpah itu sepuasnya!".
Hal senada terjadi beberapa hari kemarin. Ketika saya hendak pulang ke kampung halaman menggunakan jasa kereta api. Saat itu saya membuka lembaran tiket yang sudah ada digenggaman. Tertulis posisi kursi adalah 6B, artinya duduk saya berada di tengah (tidak berada di dekat jendela yang sering menjadi posisi favorit saya). Pada posisi ini, sebenarnya tidak terlalu bermasalah bagi saya, biasa saja. Tapi akan menjadi tidak biasa, ketika kursi di depan saya diputar 180 derajat sehingga posisi menjadi berhadap-hadapan dengan kursi tempat saya duduk. Sungguh sangat tidak nyaman. Adalah orang yang ada di sebelah saya yang tidak punya empati membuat saya menjadi salah tingkah. Mana dihadapan saya ini seorang wanita lagi. Memang mereka yang ada di depan saya adalah anggota keluarga dari orang yang ada di sebelah saya. Normal jika mereka ingin asik ngobrol, tapi ini loh ada saya!. Emang saya patung!. Saya merasa seperti tamu di tempat duduk saya sendiri. Tamu utusan di wilayah 'kekuasaan' saya sendiri. Lagi-lagi ini bicara tentang rasa.
Nah pada kondisi seperti ini, rasa empati harus di tempatkan pada posisinya. Harus ada prinsip kesetaraan, jangan sampai ada ungkapan 'enak di kamu, ndak enak di saya!'. Entahlah, mungkin tiap orang memiliki kadar empati yang berbeda-beda, karena empati itu soal rasa.
betul mas..
BalasHapusbosan bgtz pasti ya mas??
pastinya... ini soal rasa. Padahal saya sendiri orang yang sungkan-an. Alias agak tabu klo protes. Mungkin untuk orang lain udah protes :)
Hapusbicara soal empati,, saya no comment dah
BalasHapussampai sekarang belum menemukan definisi yang tepat
entah semacam tepa selira, atau sama rasa, atau rasa kasihan?
ada salah satu teman saya yg selalu mengkritik bahwa saya gak punya empati
tapi bagi dia, empati itu hanya diartikan sebatas ini:
"jangan galak sama orang lain, karena itu gak punya empati"
lah...jadinya comment juga :D
tepa selira, sama rasa, itu bukannya kata lain tenggang rasa..?
Hapuswalah aku sendiri juga bingung.
tapi kalimat-kalimat emapti yang berkembang di masyarakat kadang kali memang berbeda-beda tiap kasus.
Empati itu mampu merasakan dan memahami emosi orang lain, so orang-orang itu emang gak punya empati
BalasHapus