Suatu ketika saya membaca sebuah artikel di Dakwatuna yang dideskripsikan ke dalam cerita pendek. Di dalam cerita itu dikisahkan seorang akhwat yang menghadiri sebuah acara seminar dengan menghadirkan pembicara yang cukup terkenal. Di sela-sela seminar tersebut ada seorang akhwat lain yang secara membabi buta menanyakan kabar kepada sahabat-sahabatnya. "Subhanallah, apa kabar ukh? lama tidak berjumpa, anaknya sudah berapa?. Dan kepada sahabat-sahabat lainnya yang dia jumpai, disapanya dengan kalimat yang serupa dengan itu. Intinya adalah menanyakan kabar dan jumlah anak.
Sampai pada akhirnya disapalah akhwat yang tadi disebutkan di awal, tentu dengan memasang mimik yang cerah dan akrab. Namun, alangkah bingungnya akhwat si penanya tadi dengan sikap dan bahasa tubuh akhwat yang ditanya. "Alhamdulillah kabar baik, belum punya anak!, ah sudahlah jangan tanya itu lagi itu lagi, emang menikah itu buat lomba bikin anak apa?!". Sungguh rasanya langsung 'deg', klo bahasa gaulnya sekarang 'langsung jleb' ke dalam hati si penanya. Sungguh kali ini dia telah salah besar menyusun kalimat dalam menanyakan kabar kepada akhwat yang satu ini. Beberapa kali dia tertegun dan mencoba minta maaf kepada akhwat tadi. Ibarat dalam perang, dia telah gagal total melihat dengan jeli seperti apa medan tempur yang akan dilalui. Keduanya masih saja diam membisu, namun beberapa saat kemudian, akhirnya akhwat yang ditanya tadi pun merekah senyumnya dan memeluk erat si penanya sambil mengatakan: "Ah sudahlah ukh, afwan jiddan, memang saya akhir-akhir ini agak sensitif klo ditanya soal itu". Mereka pun akhirnya bisa kembali bercanda, tentu dengan topik dan bahasan yang lain.
Ketika saya membaca artikel tersebut, sungguh apa yang dirasa di dalam diri akhwat yang ditanya tersebut, jujur selama ini juga saya rasakan. Kadang terselip bisikan jahat di pikiran : 'dasar basa-basi basi'. Ah, namun seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa dengan kalimat pertanyaan seperti itu (meski rasa bete tetap saja seringkali menggelayuti). Entahlah, aku tidak bisa mengetahui isi hati orang yang bertanya seperti itu, apakah hanya sekedar basa-basi tanpa makna? atau mungkin bisa juga ada doa di dalamnya. Wallahu alam. Yang jelas kalimat tanya seperti itu seringkali menyebabkan seperti ada tusukan sembilu di hati. Ah.. mungkin bagi sebagian orang menganggap saya terlalu sensitif. Hemm mungkin ada benarnya juga :) .
Gambar dari : indablu.wordpress.com
Hanya saja saya sangat kasihan dengan istri saya. Dia seringkali menangis tersedu jika ada teman atau koleganya bertanya mengenai kehamilan dirinya. 'Kok belum hamil juga sih? udah berapa lama nikahnya?'. Pertanyaan seperti ini seperti ratusan panah tajam yang melesat dengan kecepatan tinggi menghujam ke tubuh kami. Dengan berlumuran darah, kami hanya bisa menjawab : 'Belum... ini masih dalam proses, insyaAllah. Mohon doa-nya'. Sungguh ini diluar kuasa kami. Yang memiliki hak mutlak bahwa istri saya hamil dan tidak hamil ada di tangan Allah. Bukan berarti malah dengan sombong mengesampingkan campur tangan Allah dalam hal ini. Salah satu tujuan menikah memang untuk memperoleh anak keturunan dari keluarga kita. Tapi bukan itu satu-satunya tujuan, dijadikan ada istri itu supaya hidup kita lebih tentram.
Anak keturunan memang penting, bahkan sangat penting dalam menjaga kerukunan dalam rumah tangga. Tapi bukan berarti dengan dalih itu, kita menjadikannya seperti sistem kebut semalam atau bahkan (naudzubillah) dijadikan bahan perlombaan. Siapa yang punya anak duluan, dialah pemenangnya.
Entahlah, ketika saya menulis postingan ini, sadar saya mengakui ada campur tangan emosi disini. Tapi pesan yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah soal rasa empati. Dan bagi anda yang sudah punya anak keturunan, cobalah belajar soal empati dalam hal ini. Tiada mustahil ada dari sanak saudara anda yang mungkin mengalami cobaan seperti ini. Dan bagi yang belum menikah, cobalah mengkhayal andai nanti anda mungkin saja berada di posisi seperti kami. Tak ada jaminan bahwa setiap pasangan yang menikah akan langsung dikaruniai anak bahkan sebelum 1 tahun pernikahan. Ada tetangga saya 8 tahun baru memiliki anak, subhanallah. Kami saja yang baru 3 tahun mengalami, sudah cukup berat dengan cobaan seperti ini, bagaimana dengan mereka yang duiji 8 tahun?. Atau bagi mereka yang bahkan ditakdirkan tidak memiliki keturunan?.
Pernah juga ada prasangka jelek terhadap Allah, tapi kami selalu berusaha menghilangkannya. Kami yakin : Setiap apa yang terjadi pada hamba, maka itu adalah kondisi terbaiknya. Disini saya hanya menekankan soal empati dari kita sesama hamba. Bukan mempersoalkan hak prerogatif Allah azza wa jalla.
Mungkin diantara kalian ada yang pengen bilang : 'Ah.. yang sabar aja fin napa!, gitu aja kok sensitif?' . Ha ha.. ya karena anda belum pernah merasakannya :) . Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Masak sih? he he coba aja rasakan sendiri!. Tapi saya tidak berharap yang jelek dari kawan-kawan semua :). Saya hanya berdoa yang terbaik buat kita semua dan mencoba mengenalkan rasa empati terhadap hal ini lebih dini. Harapan saya, biarlah kami yang terakhir merasakan soal basa-basi basi ini :).
Sampai pada akhirnya disapalah akhwat yang tadi disebutkan di awal, tentu dengan memasang mimik yang cerah dan akrab. Namun, alangkah bingungnya akhwat si penanya tadi dengan sikap dan bahasa tubuh akhwat yang ditanya. "Alhamdulillah kabar baik, belum punya anak!, ah sudahlah jangan tanya itu lagi itu lagi, emang menikah itu buat lomba bikin anak apa?!". Sungguh rasanya langsung 'deg', klo bahasa gaulnya sekarang 'langsung jleb' ke dalam hati si penanya. Sungguh kali ini dia telah salah besar menyusun kalimat dalam menanyakan kabar kepada akhwat yang satu ini. Beberapa kali dia tertegun dan mencoba minta maaf kepada akhwat tadi. Ibarat dalam perang, dia telah gagal total melihat dengan jeli seperti apa medan tempur yang akan dilalui. Keduanya masih saja diam membisu, namun beberapa saat kemudian, akhirnya akhwat yang ditanya tadi pun merekah senyumnya dan memeluk erat si penanya sambil mengatakan: "Ah sudahlah ukh, afwan jiddan, memang saya akhir-akhir ini agak sensitif klo ditanya soal itu". Mereka pun akhirnya bisa kembali bercanda, tentu dengan topik dan bahasan yang lain.
Ketika saya membaca artikel tersebut, sungguh apa yang dirasa di dalam diri akhwat yang ditanya tersebut, jujur selama ini juga saya rasakan. Kadang terselip bisikan jahat di pikiran : 'dasar basa-basi basi'. Ah, namun seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa dengan kalimat pertanyaan seperti itu (meski rasa bete tetap saja seringkali menggelayuti). Entahlah, aku tidak bisa mengetahui isi hati orang yang bertanya seperti itu, apakah hanya sekedar basa-basi tanpa makna? atau mungkin bisa juga ada doa di dalamnya. Wallahu alam. Yang jelas kalimat tanya seperti itu seringkali menyebabkan seperti ada tusukan sembilu di hati. Ah.. mungkin bagi sebagian orang menganggap saya terlalu sensitif. Hemm mungkin ada benarnya juga :) .
Hanya saja saya sangat kasihan dengan istri saya. Dia seringkali menangis tersedu jika ada teman atau koleganya bertanya mengenai kehamilan dirinya. 'Kok belum hamil juga sih? udah berapa lama nikahnya?'. Pertanyaan seperti ini seperti ratusan panah tajam yang melesat dengan kecepatan tinggi menghujam ke tubuh kami. Dengan berlumuran darah, kami hanya bisa menjawab : 'Belum... ini masih dalam proses, insyaAllah. Mohon doa-nya'. Sungguh ini diluar kuasa kami. Yang memiliki hak mutlak bahwa istri saya hamil dan tidak hamil ada di tangan Allah. Bukan berarti malah dengan sombong mengesampingkan campur tangan Allah dalam hal ini. Salah satu tujuan menikah memang untuk memperoleh anak keturunan dari keluarga kita. Tapi bukan itu satu-satunya tujuan, dijadikan ada istri itu supaya hidup kita lebih tentram.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Anak keturunan memang penting, bahkan sangat penting dalam menjaga kerukunan dalam rumah tangga. Tapi bukan berarti dengan dalih itu, kita menjadikannya seperti sistem kebut semalam atau bahkan (naudzubillah) dijadikan bahan perlombaan. Siapa yang punya anak duluan, dialah pemenangnya.
Entahlah, ketika saya menulis postingan ini, sadar saya mengakui ada campur tangan emosi disini. Tapi pesan yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah soal rasa empati. Dan bagi anda yang sudah punya anak keturunan, cobalah belajar soal empati dalam hal ini. Tiada mustahil ada dari sanak saudara anda yang mungkin mengalami cobaan seperti ini. Dan bagi yang belum menikah, cobalah mengkhayal andai nanti anda mungkin saja berada di posisi seperti kami. Tak ada jaminan bahwa setiap pasangan yang menikah akan langsung dikaruniai anak bahkan sebelum 1 tahun pernikahan. Ada tetangga saya 8 tahun baru memiliki anak, subhanallah. Kami saja yang baru 3 tahun mengalami, sudah cukup berat dengan cobaan seperti ini, bagaimana dengan mereka yang duiji 8 tahun?. Atau bagi mereka yang bahkan ditakdirkan tidak memiliki keturunan?.
Pernah juga ada prasangka jelek terhadap Allah, tapi kami selalu berusaha menghilangkannya. Kami yakin : Setiap apa yang terjadi pada hamba, maka itu adalah kondisi terbaiknya. Disini saya hanya menekankan soal empati dari kita sesama hamba. Bukan mempersoalkan hak prerogatif Allah azza wa jalla.
Mungkin diantara kalian ada yang pengen bilang : 'Ah.. yang sabar aja fin napa!, gitu aja kok sensitif?' . Ha ha.. ya karena anda belum pernah merasakannya :) . Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Masak sih? he he coba aja rasakan sendiri!. Tapi saya tidak berharap yang jelek dari kawan-kawan semua :). Saya hanya berdoa yang terbaik buat kita semua dan mencoba mengenalkan rasa empati terhadap hal ini lebih dini. Harapan saya, biarlah kami yang terakhir merasakan soal basa-basi basi ini :).
Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
BalasHapustetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D
apakah rasanya seperti mendapatkan pertanyaan semacam ini:
BalasHapus"kapan wisuda? katanya Agustus, ini sudah lewat dua kali agustus kok belum ada kabar juga?"
memang, setiap orang diberikan ujiannya masing-masing
bukankah memang ujian itulah yang menjadi dasar seberapa besar keimanan kita?
Laa yukallifullahhu nafsan illaa wus'ahaa
Laha ma kasabat wa’alaiha maktasabat.. :)
Hapussama persis kayak pertanyaan "kapan nikah?"
BalasHapushe...
nanti kalau udah nikah, pertanyaannya ganti" udah hamil belum?"
terus, kalau udah punya satu, ganti lagi, "kapan neh ngasih adik buat di sulung.."
dan seterusnya...san seterusnya...
untungnya,
BalasHapuspertanyaannya seperti ini, " kapan ninggalnya?" gak menjadi tren basa basi di masyarakat kita. he...
Iya, harus lihat2 dulu orang yg ditanya sebelum bertanya. Misal nanya IP, kapan lulus, kapan kerja, kapan nikah, kpn punya anak, dan sejenisnya. Bagi sebagian orang pertanyaan tsb sangat menyayat hati, terutama bagi perempuan yg lebih mengedepankan perasaan dibanding logika. Kalau laki-laki, terkadang cuek2 aja. Tapi klo ditanya berulang2, lama2 emosi juga.
BalasHapusSaatnya berlatih lagi simpati dan empati :)
bener banget nurrrr... :)
Hapus