Saat itu tiba-tiba ada seorang perempuan masuk ke dalam kamar salah seorang teman kos. Mungkin inilah kekurangan dari tinggal di kos-kosan yang besar dan memiliki puluhan kamar. Praktis saya tak bisa mengenali seluruhnya. Hanya sebagiannya saja. Saat itu saya yakin benar bahwa teman kos (yang didatangi ceweknya itu) belum menikah. Suasana menjadi tambah panas, ketika dengan mulai berani mereka menutup pintu kamar tersebut. Pada kondisi seperti ini, prasangka manapun pastinya akan berujung kepada hal-hal negatif. Bagaimana mungkin saya bisa berprasangka baik pada kondisi seperti ini?. Mereka belum menikah, pintu kamar ditutup, pada ngapain?? . Bagi saya yang masih menyandang status mahasiswa tingkat dasar, tidak banyak hal yang bisa saya perbuat. Kondisi diperparah lagi dengan cueknya pengelola kos-kosan terhadap hal ini. Mereka membiarkannya. Mungkin bagi mereka, pemandangan seperti ini sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Hal yang biasa terjadi di kota-kota besar. Itu bukan urusan kita, cuek sajalah. Mungkin seperti itu anggapan mereka. Anggapan oleh orang-orang yang tak peduli, yang akhirnya akan berujung pada semakin merebaknya kondisi pergaulan bebas. Inilah wajah hari ini, oleh ketidakpedulian kita masa lalu. -sst.. udah mirip Mario Teguh belom?-. Pemandangan seperti ini terulang ketika saya harus pindah tempat tinggal ke kota lain karena tuntutan pekerjaan. Wajah pergaulan teman kos yang agak bebas menjadi pemandangan sehari-hari. Hingga pada suatu ketika saya pernah 'menegur' salah satu teman kos yang dengan enaknya mengajak ceweknya masuk ke dalam kamar kemudian ditutup pintunya. Pada saat itu memang salah saya ketika memilih tempat tinggal. Beberapa teman dekat yang tinggal di kos sudah mulai pergi karena bekerja. Maka tinggallah saya sendiri yang harus mengelola beberapa kamar yang harus segera dicarikan penghuninya. Tak banyak pilihan yang bisa saya berikan. Tuntuan pelunasan uang kontrakan semakin mendekat. Walhasil, kualitas penghuni kos-pun menjadi bermacam-macam. Bebas, tak peduli dan cenderung acuh tak acuh. Begitulah wajah kehidupan dan pergaulan di perkotaan. Setidaknya, sesuai dengan pengalaman saya yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi pergaulan muda-mudi yang sudah mulai mengarah ke pergaulan bebas. Maka akan benar sekali apa yang dikatakan oleh Tere Liye dalam akun FB-nya bahwa : Jika tidak ada yang peduli, kita tidak butuh 30 tahun, 50 tahun, paling hanya 10-20 tahun lagi, kehidupan bebas akan tiba di negeri ini. Dan ketika wajah pergaulan seperti itu menjadi tontonan sehari-hari, maka apa yang bisa kita lakukan?. Setidaknya melalui tulisan ini, ada sedikit kerusauan hati yang coba saya angkat ke publik. Bahwa sejatinya kita masih memiliki peran kawan, sekecil apapun peran itu."Jika tidak ada yang peduli, kita tidak butuh 30 tahun, 50 tahun, paling hanya 10-20 tahun lagi, kehidupan bebas akan tiba di negeri ini. Orang-orang tinggal serumah tanpa menikah. Orang-orang punya anak tanpa menikah. Tetangga sebelah mau ngapain terserah. Gaya hidup bebas, urus masing-masing. Belajarlah dari negara lain. Jika kalian punya teman, maka tanyalah ke orang-orang Korea, Hongkong, Eropa, Amerika, yg punya cerita betapa cepatnya hal itu datang jika tidak ada yang peduli. Coba cek lingkungan kalian, seberapa permisif dan bolehnya orang2 sekarang dibanding 10, 20 tahun lalu". -Tere Liye-
Kontrakan Sukaraja Bandung, 14 Oktober 2012
Bahwa sejatinya kita masih memiliki peran kawan, sekecil apapun peran itu.
nah, sama kondisinya kayak kos-kosan cowok depan kontrakan saya
BalasHapuscewek bebas keluar masuk sampai malam
dan saya tak bisa bilang apa-apa....
hoo begitu ya mbak. Sama juga, dulu saya tak bisa berbuat apa-apa. Tapi ketika yang melakukannya adalah adek junior, aku merasa ada kekuatan untuk mencegahnya.
HapusMemang harusnya orang yang memiliki 'wewenang' yang bisa meluruskan. Setidaknya sangsi sosial lebih bagus dilakukan.
Lucunya, saat dulu saya di Malang, dan lebih memilih kos-kosan dengan diterapkannya jam malam serta larangan untuk tamu laki-laki masuk, kawan-kawan saya berkomentar dengan tenangnya, "Itu kos kosan apa penjara???" ternyata sudah sampai sejauh itu pula pemikiran mereka yahh.
BalasHapusSaya cuma bisa senyum menanggapinya. Hehe...
Yup minimal pemikiran kita bisa dijaga supaya masih dalam koridor mbak. Kita tak usah ikut-ikutan keblinger. Yang lurus-lurus saja :)
Hapusbaru tahu aku Fin ttg kehidupan kos kosan sana
BalasHapusitu yang aku tahu mbak. yang belum aku tahu mungkin lebih banyak lagi yang seperti itu. Semoga kita masih memiliki sedikit peran, setidaknya pesan-pesan positif di sosial media seperti blog.
HapusAlhamdulillah dulu ketika kuliah belum nemu yang semacam ini, mungkin karena tinggalnya di perumdos, tapi ketika tinggal di bandung langsung nemu yang begini..pernah negur sekali, tapi karena gak digubris, akhirnya cuman bisa lewat doa..
BalasHapusDulu kalau tahu teman-teman nge-kost di perumdos itu kayaknya manteb dan mahal begitu. Waktu itu aku cari yang murah super murah di daerah Gebang he he.
HapusGak juga sih mas, tergantung kosnya juga kok. Kemarin ortu memang nyaranin kos yang lebih deket, karena aku cewek dan kemungkinan sering pulang malem..hehee..
Hapuswah bukannya di sebelah selatan elektro itu lumayan gelap dan serem. Apalagi kalau berjalan kaki malam-malam. Dulu pernah ada temanku yang ikut 'nggebuki' oknum yang melecehkan seorang cewek di kampus. Ya mungkin karena gelap begitu. Tapi si cewek teriak keras banget. Wargapun berdatangan. #ini_versi_cerita_temenku_sih.
Hapuspernah denger juga yg kejadian kayak gt..tapi Alhamdulillah aku masih aman, padahal lumayan sering pulang di atas jam9.hehe..
Hapusalhamdulillah. mungkin perlu sewa bodyguard sekelas Jim sama Pate. #apaan_sih.
Hapus