Jam pulang kantor sudah selesai hampir dua jam yang lalu, namun tubuh ini tetap tak beranjak dari tempat dudukku. Badanku terasa letih sekali, tapi tetap saja rasa malas masih menggelayut membujuk seluruh bagian tubuhku untuk tetap gigih tak beranjak. Rintik hujan masih saja terdengar bergemericik ricuh di luar jendela kantor. Pada saat-saat seperti ini, biasanya muncul berbagai macam ide untuk menulis. Ide-ide itu seperti melayang-layang berterbangan di sekitar kepalaku. Aku tinggal menangkapnya satu, kemudian meraciknya menjadi santapan tulisan yang nikmat. Sudah lama aku tak menulis dari hati, kali ini aku ingin melukisnya, meramunya, dan membiarkan dia berlari kemudian merasuk kedalam setiap kepala orang yang membaca tulisanku ini.
Bagiku hujan selalu membawa inspirasi. Dia menjadi teman dikala hati sedang kesepian. Dia adalah sahabat ketika jari ingin menuliskan sesuatu. Dia seringkali menjadi sedikit penawar ketika perasaan sedang gelisah dilanda berbagai masalah. Dan yang paling sering adalah ketika rinai hujan membawa snapshot-snapshot bayang masa lalu, dan ini benar-benar membuatku seringkali tersenyum. Mengenangnya, hatikupun bernyanyi.
Engkau boleh saja tertawa kawan, dengan tema apa yang tengah aku tuliskan kali ini. Yang jelas, aku hanya ingin menulis, itu saja!. Entah itu bagimu penting ataukah tidak penting. Tidak masalah. Aku hanya ingin menulis tentang apa yang aku rasa. Tentang apa yang aku inginkan. Dan tentang apa yang sudah aku lakukan.
Detak jarum di dinding terus saja berputar, senjapun mulai menutup. Tanda hari mulai berubah wajah. Tapi heii... lihatlah wahai kawan, rinai hujan masih saja bergemirik ramai di luar sana. Sungguh pemandangan dan suasana yang membawa kedamaian. Aku membuka jendela kantor yang berlantai 4 ini. Kusapu pandanganku keluar, menatap jalanan. Aku tertegun. Bulir hujan tak pernah mengeluh kenapa dia dijatuhkan dari atas langit yang begitu tinggi. Bisakah engkau bayangkan kawan, dia jatuh dari ketinggian ratusan kilometer. Kemudian berdebam di atas tanah dengan kecepatan sekian km per jam.
Begitu juga dengan bumi. Dia tak pernah protes dengan datangnya berton-ton bulir air dari atas langit. Dia rela dihajar bertubi-tubi dengan pukulan yang begitu dahsyat dari air yang jatuh. Dan tentu kita tahu, bahwa seluruh benda yang ada di semesta ini memiliki perasaannya sendiri. Seperti sebuah pohon kurma yang menangis rindu karena pernah menjadi tempat bersandar Rosulullah.
Sesekali kita harus belajar dari keteguhan bulir air yang jatuh dari langit, atau juga bumi yang teguh berjuang dari hantaman air hujan. Meskipun mereka bertabrakan satu sama lain, tapi mereka tak pernah mengeluh, malah pada akhirnya melahirkan sinergi yang harmoni. Itulah cinta. Terkadang kita harus menahan sakit untuk selanjutkan mensemikan cinta. Seutas tali harus rela bergesekan dengan yang lain untuk mampu bersinergi membentuk ikatan kuat. Sebatang kayu haru rela dipaku di sana sini untuk supaya bisa terbentuk sebuah bangunan rumah yang kokoh.
Dari rinai hujan, banyak sekali inspirasi yang bisa kita ambil.
Bagiku hujan selalu membawa inspirasi. Dia menjadi teman dikala hati sedang kesepian. Dia adalah sahabat ketika jari ingin menuliskan sesuatu. Dia seringkali menjadi sedikit penawar ketika perasaan sedang gelisah dilanda berbagai masalah. Dan yang paling sering adalah ketika rinai hujan membawa snapshot-snapshot bayang masa lalu, dan ini benar-benar membuatku seringkali tersenyum. Mengenangnya, hatikupun bernyanyi.
Engkau boleh saja tertawa kawan, dengan tema apa yang tengah aku tuliskan kali ini. Yang jelas, aku hanya ingin menulis, itu saja!. Entah itu bagimu penting ataukah tidak penting. Tidak masalah. Aku hanya ingin menulis tentang apa yang aku rasa. Tentang apa yang aku inginkan. Dan tentang apa yang sudah aku lakukan.
Detak jarum di dinding terus saja berputar, senjapun mulai menutup. Tanda hari mulai berubah wajah. Tapi heii... lihatlah wahai kawan, rinai hujan masih saja bergemirik ramai di luar sana. Sungguh pemandangan dan suasana yang membawa kedamaian. Aku membuka jendela kantor yang berlantai 4 ini. Kusapu pandanganku keluar, menatap jalanan. Aku tertegun. Bulir hujan tak pernah mengeluh kenapa dia dijatuhkan dari atas langit yang begitu tinggi. Bisakah engkau bayangkan kawan, dia jatuh dari ketinggian ratusan kilometer. Kemudian berdebam di atas tanah dengan kecepatan sekian km per jam.
Begitu juga dengan bumi. Dia tak pernah protes dengan datangnya berton-ton bulir air dari atas langit. Dia rela dihajar bertubi-tubi dengan pukulan yang begitu dahsyat dari air yang jatuh. Dan tentu kita tahu, bahwa seluruh benda yang ada di semesta ini memiliki perasaannya sendiri. Seperti sebuah pohon kurma yang menangis rindu karena pernah menjadi tempat bersandar Rosulullah.
Sesekali kita harus belajar dari keteguhan bulir air yang jatuh dari langit, atau juga bumi yang teguh berjuang dari hantaman air hujan. Meskipun mereka bertabrakan satu sama lain, tapi mereka tak pernah mengeluh, malah pada akhirnya melahirkan sinergi yang harmoni. Itulah cinta. Terkadang kita harus menahan sakit untuk selanjutkan mensemikan cinta. Seutas tali harus rela bergesekan dengan yang lain untuk mampu bersinergi membentuk ikatan kuat. Sebatang kayu haru rela dipaku di sana sini untuk supaya bisa terbentuk sebuah bangunan rumah yang kokoh.
Dari rinai hujan, banyak sekali inspirasi yang bisa kita ambil.
ya sama sama
BalasHapusApanya yang sama-sama? :)
Hapus