Simak kisah sebelumnya di : Madinah Bagian 6
Malam ini selepas sholat Isya', aku bersama mas Roy dan Advin berencana untuk berjalan-jalan di sekitar hotel, menikmati keindahan malam kota Madinah. Sekedar untuk menikmati suasana, atau setidaknya berusaha mengenal beberapa sudut kota Madinah. Sehingga jikalau nanti suatu saat Allah mentakdirkan kami kembali ke kota ini, kita sudah cukup mengenalnya, minimal lokasi tempat-tempat membeli oleh-oleh khas Madinah.
Sholat isya' sudah selesai dilaksanakan. Sebagian orang mulai berhamburan keluar masjid, dan sebagiannya yang lain lagi memilih tetap berada di dalam masjid. Aku, mas Roy dan Advin bertemu di depan hotel tempat kita menginap. Kami mulai berjalan menyusuri gedung-gedung di dekat hotel. Toko-toko yang menjual berbagai aksesoris dan pakaian terlihat sibuk melayani pembeli. Sesekali kami disapa oleh penjual, dengan logat khas Arab mereka berusaha menawarkan dagangannya. Bila tertarik, kami berhenti sebentar melayani godaan mereka. Jika tidak tertarik, kami membalas dengan senyuman sambil tetap melanjutkan langkah.
sumber : disini
Setelah mengkonversi nilai tukar uang Reyal dengan Rupiah. Rupaya harga es krim ini 36 ribu rupiah!. Wow kok mehong ya? (*mehong = mahal). Ah, dengan uang segitu lumayan bisa beli kebab 2 porsi pikirku. Dan dari rombongan yang jalan-jalan ini, ternyata hanya aku yang tidak beli es krim itu. Yang lain mungkin berpikir, ah kapan bisa beli es krim seharga 36 ribu rupiah. Tapi bagiku, entah kenapa aku jadi tidak berselera makan es krim.
Senja Sendu di Madinah
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, komplek masjid Nabawi masih saja ramai oleh aktifitas orang beribadah ataupun hanya sekedar berjalan-jalan menikmati suasana. Ini adalah hari terakhir kami berada di kota Madinah. Ah, rasanya baru saja kemarin kita tiba di kota ini, tetapi esok hari kita sudah harus meninggalkannya. Rasanya sungguh berat sekali. Bagaimana tidak berat coba? Kota yang nyaman dan aman, deretan pohon kurma yang melambai-lambai sepanjang jalan, ditambah dengan pesona masjid Nabawi yang tak pernah sepi betul-betul menentramkan hati. Sungguh hati ini berharap bisa selamanya disini. Dalam hati aku berdoa, semoga suatu saat aku bisa kembali menjejakkan kakiku kesini lagi, tentunya bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Uhuks.Malam ini selepas sholat Isya', aku bersama mas Roy dan Advin berencana untuk berjalan-jalan di sekitar hotel, menikmati keindahan malam kota Madinah. Sekedar untuk menikmati suasana, atau setidaknya berusaha mengenal beberapa sudut kota Madinah. Sehingga jikalau nanti suatu saat Allah mentakdirkan kami kembali ke kota ini, kita sudah cukup mengenalnya, minimal lokasi tempat-tempat membeli oleh-oleh khas Madinah.
Malam yang Berkesan
Kegelapan malam mulai membungkus kota. Semilir angin sepoi-sepoi sedikit menggoyangkan ujung daun pohon Kurma. Kesibukan masjid Nabawi tidak pernah sepi, apalagi di waktu-waktu ibadah wajib berlangsung. Ketika adzan berkumandang, maka semua orang akan menyambutnya, berhamburan keluar hotel/toko untuk menunaikan ibadah sholat wajib. Wajah mereka seakan berseri-seri, menjemput jamuan Sang Raja pemilik bumi. Semua toko-toko tutup dan jalanan pun mulai sepi. Sungguh suasana yang jarang dijumpai di tempat lain di muka bumi ini.Sholat isya' sudah selesai dilaksanakan. Sebagian orang mulai berhamburan keluar masjid, dan sebagiannya yang lain lagi memilih tetap berada di dalam masjid. Aku, mas Roy dan Advin bertemu di depan hotel tempat kita menginap. Kami mulai berjalan menyusuri gedung-gedung di dekat hotel. Toko-toko yang menjual berbagai aksesoris dan pakaian terlihat sibuk melayani pembeli. Sesekali kami disapa oleh penjual, dengan logat khas Arab mereka berusaha menawarkan dagangannya. Bila tertarik, kami berhenti sebentar melayani godaan mereka. Jika tidak tertarik, kami membalas dengan senyuman sambil tetap melanjutkan langkah.
Es Krim 10 Riyal
Kami terus menyusuri gedung-gedung yang berjajar rapi sepanjang jalan. Sekuat kaki melangkah, disitulah tempat yang kami kunjungi. Di sepanjang perjalanan, kami beberapa kali berjumpa dengan orang Indonesia. Baik itu satu biro dengan kami, maupun dari biro yang lain. Mereka seperti layaknya kami, menikmati malam di Madinah. Setelah dirasa cukup jauh, kami melihat ada keramaian di ujung jalan. Rupanya banyak terdapat penjual makanan. Salah satunya adalah toko es krim. Pemilik toko terlihat sibuk melayani beberapa pengunjung. Kamipun mendekati tokonya. Di dinding terpampang beberapa brosur atau pamflet dari berbagai jenis es krim. Aku membaca daftar harganya. Alangkah terkejutnya diri ini menemukan bahwa harga termurah dari es krim yang dijual di toko ini adalah 10 Reyal. Eit, 10 Reyal itu berapa ya? (ting..tung..ting..tung..) Padahal kemarin aku membeli kebab porsi yang lumayan besar seharga 5 riyal.Setelah mengkonversi nilai tukar uang Reyal dengan Rupiah. Rupaya harga es krim ini 36 ribu rupiah!. Wow kok mehong ya? (*mehong = mahal). Ah, dengan uang segitu lumayan bisa beli kebab 2 porsi pikirku. Dan dari rombongan yang jalan-jalan ini, ternyata hanya aku yang tidak beli es krim itu. Yang lain mungkin berpikir, ah kapan bisa beli es krim seharga 36 ribu rupiah. Tapi bagiku, entah kenapa aku jadi tidak berselera makan es krim.
Aku rasa, pengaruh nominalnuang di indonesia dan arab mas, ketika mengeluarkan 10 reyal, terasa enteng, tapi kalau sudah 36 ribu (ada ribu nya) terasa berat
BalasHapusIya betul banget. Rasanya kalau 10 reyal itu murah, tetapi setelah dikonversi jadi mahal.
Hapus