Beberapa minggu sebelum keberangkatan ke Swiss, saya sering bercanda dengan kawan seperjalanan tentang kemungkinan untuk mengisi akhir pekan kami di Swiss dengan jalan-jalan. Biar lebih seru saya ganti istilahnya dengan mbolang. Rugi banget kan sudah pergi jauh-jauh melintas benua jika hanya sekedar melaksanakan training saja tanpa disertai jalan-jalan untuk melihat keindahan negerinya.
Banyak orang mengatakan Swiss itu seperti negeri dongeng. Mereka sering memakai klausa, 'Tuhan menciptakan negeri ini ketika sedang tersenyum'. Orang sih bebas berpendapat ya, meski saya sendiri tidak sepakat dengan itu.
Entah siapa yang memulai ide mbolang tersebut, waktu itu saya mengusulkan untuk pergi ke Interlaken, sebuah pedesaan yang indah, lokasinya tepat di antara dua buah danau besar yaitu Thun dan Brienz. Ide ini muncul karena terinspirasi dari sebuah tayangan di Youtube yang diliput oleh NetMediatama. Judulnya 'Keindahan Interlaken, Swiss yang Memanjakan Mata'.
Seorang kawan menyeruak dalam obrolan, ingin pula mengajukan idenya. Dengan menggebu-nggebu, ia menawarkan untuk pergi ke Grinderwald. Sebuah pedesaan yang berada di dekat gunung Eiger. Kalau baca-baca di blog, Grindelwald menyajikan pemadangan pedesaan yang istimewa. Pegunungan Eiger dengan puncaknya yang selalu berhias salju menjadikannya view yang eksotik. Selain itu, kita bisa melihat dan berinteraksi secara langsung dengan sapi-sapi khas Switzerland yang dibiarkan saja lepas di alam. Tentu ini semua akan menjadi sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan.
Kawan saya yang lain pun juga tak ingin kalah, idenya malah lebih gila lagi. Dia mengusulkan untuk pergi jalan-jalan ke Paris, Perancis. Tujuannya ingin melihat Menara Eiffle. "Kapan lagi kita bisa ke Paris!", begitu selorohnya.
Saya pun menimpalinya dengan ide ke negeri asal Lukas Podolski, Der Panzer, Jerman. Sederhana saja, saya penggemar berat timnas Jerman di piala dunia 2018 yang lalu. Tim yang secara naas tak lolos fase group, meski empat tahun sebelumnya sempat menggondol trofi juara.
Jika keinginan ini terwujud, sepertinya saya bersiap untuk menulis cerita yang agak panjang meniru mbak Hanum Rais dalam novelnya yang best seller, 99 Cahaya di Langit Eropa.
Tanpa kami menyadarinya, gurauan-guraun yang terdengar absurb itu pun lama-lama menjadi sebuah keseriusan. Bermula saat kami secara iseng membuat rencana perjalanan ( itinerary ) yang didalamnya juga termaktub RAB (rincian anggaran biaya). Jika dihitung-hitung sih, sepertinya sangu kami masih cukup, walaupun cenderung tak bersisa.
Banyak orang mengatakan Swiss itu seperti negeri dongeng. Mereka sering memakai klausa, 'Tuhan menciptakan negeri ini ketika sedang tersenyum'. Orang sih bebas berpendapat ya, meski saya sendiri tidak sepakat dengan itu.
Entah siapa yang memulai ide mbolang tersebut, waktu itu saya mengusulkan untuk pergi ke Interlaken, sebuah pedesaan yang indah, lokasinya tepat di antara dua buah danau besar yaitu Thun dan Brienz. Ide ini muncul karena terinspirasi dari sebuah tayangan di Youtube yang diliput oleh NetMediatama. Judulnya 'Keindahan Interlaken, Swiss yang Memanjakan Mata'.
Seorang kawan menyeruak dalam obrolan, ingin pula mengajukan idenya. Dengan menggebu-nggebu, ia menawarkan untuk pergi ke Grinderwald. Sebuah pedesaan yang berada di dekat gunung Eiger. Kalau baca-baca di blog, Grindelwald menyajikan pemadangan pedesaan yang istimewa. Pegunungan Eiger dengan puncaknya yang selalu berhias salju menjadikannya view yang eksotik. Selain itu, kita bisa melihat dan berinteraksi secara langsung dengan sapi-sapi khas Switzerland yang dibiarkan saja lepas di alam. Tentu ini semua akan menjadi sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan.
Kawan saya yang lain pun juga tak ingin kalah, idenya malah lebih gila lagi. Dia mengusulkan untuk pergi jalan-jalan ke Paris, Perancis. Tujuannya ingin melihat Menara Eiffle. "Kapan lagi kita bisa ke Paris!", begitu selorohnya.
Saya pun menimpalinya dengan ide ke negeri asal Lukas Podolski, Der Panzer, Jerman. Sederhana saja, saya penggemar berat timnas Jerman di piala dunia 2018 yang lalu. Tim yang secara naas tak lolos fase group, meski empat tahun sebelumnya sempat menggondol trofi juara.
Jika keinginan ini terwujud, sepertinya saya bersiap untuk menulis cerita yang agak panjang meniru mbak Hanum Rais dalam novelnya yang best seller, 99 Cahaya di Langit Eropa.
Tanpa kami menyadarinya, gurauan-guraun yang terdengar absurb itu pun lama-lama menjadi sebuah keseriusan. Bermula saat kami secara iseng membuat rencana perjalanan ( itinerary ) yang didalamnya juga termaktub RAB (rincian anggaran biaya). Jika dihitung-hitung sih, sepertinya sangu kami masih cukup, walaupun cenderung tak bersisa.
Akankah ide-ide itu terwujud?
Jalan-Jalan ke Aarberg dan Biel / Bienne
Keinginan Keliling Eropa yang Kandas
Sebenarnya ide pergi jalan-jalan keliling Eropa bukanlah ide khayalan. Kami berangkat ke Swiss dengan Visa Schengen yang mengizinkan kami untuk pergi ke 26 negara-negara lain di Eropa yang masuk dalam wilayah Schengen. Negara Jerman dan Perancis termasuk di dalamnya.
Namun setelah ditelaah lebih lanjut, sepertinya pergi ke Perancis atau Jerman menjadi hal yang agak berat bagi kami. Kami hanya memiliki waktu senggang di saat weekend, yaitu di hari sabtu dan minggu. Sedangkan perjalanan lintas negara dari Swiss ke Perancis dengan menggunakan moda kereta membutuhkan waktu sekitar delapan jam.
Bisa dibayangkan, semisal kami berangkat dari Swiss pukul delapan di pagi hari, maka jadwal tiba di Paris yaitu pukul empat sore. Dari Stasiun Paris kita membutuhkan armada lain -entah itu menggunakan Taksi, Bus atau Tram- menuju ke Menara Eiffle.
Okelah, kami punya ide membeli tiket Europass Rail yang mengizinkan kami menggunakan kereta lintas negara dengan harga miring. Namun, tetap saja kami harus keluar biaya lagi ketika menuju menara Eiffle-nya. Itu belum termasuk biaya hotel di Paris jika kami terpaksa harus menginap karena kecapekan. So, biaya secara keseluruhan pasti akan sangat membengkak. Akhirnya dengan berat hati, kami memutuskan untuk mengkandaskan ide ini. Jalan-jalan ke wilayah yang dekat di dalam negeri Swiss adalah pilihan tersisa.
Bagaimana dengan Interlaken dan Grinderwald?
Saya lupa-lupa ingat mengapa ide pergi ke Interlaken dan Grinderwald juga ikutan ambyar. Begini, seingat saya itu ada sedikit ceritanya.
Jumat, 13 Desember 2019
Waktu itu Jumat, satu hari menjelang akhir pekan, hari ke-5 dari agenda jadwal kami selama 8 hari training di Swiss. Jadwal training tersebut tidak termasuk hari libur di saat weekend.
Suasana di luar gedung tempat kami training sudah mulai agak gelap. Senja di Lyss terlihat indah sekali. Mentari yang tak pernah terik itupun mulai menurunkan kadar sinarnya, menyapu dengan lembut, dan bersiap untuk sembunyi. Pemandangan bukit yang berada di belakang gedung juga sangat apik. Terlihat pohon-pohon yang berdiri kokoh meski harus merelakan daun-daunnya meranggas, rontok melawan musim dingin.
Ruang tempat diskusi rencana akhir pekan (credit: foto by Nala) |
Udara di luar semakin dingin, namun kami terlibat pembicaraan yang cukup hangat dengan Mr. Schwab, salah satu kolega kami disana. Dia sangat baik hati, bisa dibilang dia yang paling akrab dengan kami. Mungkin karena usia kami yang tak terlalu terpaut jauh dengannya. Selain itu, dia yang paling sering menawari saya kopi dan susu hangat sebagai penyegaran di sela-sela training.
Agenda training di hari itu sudah usai, kami meminta saran kepada Schwab tentang rencana akhir pekan kami. Dari sisi kami, inginnya sih bisa jalan-jalan ke beberapa tempat menarik di Swiss dengan bujet yang murah. Ha ha.. benar-benar tipikal orang Indonesia banget ya. Mintanya yang bagus tapi dengan harga semurah mungkin.
Pembicaraan itupun berujung dengan sebuah saran agar berkunjung ke kota Aarberg dan Biel/Bienne. Rasa penasaran menghinggap di kepala, seperti apa rupa kedua kota itu?
Aarberg dan Kota Tua yang Magis
Pindah Hotel
Pulang dari lokasi training hari sudah gelap. Dengan memakai jaket tebal masing-masing, kami berjalan kaki menuju hotel, melawan dingin malam. Itulah behavior kami disana, lebih memilih berjalan kaki dari dan ke lokasi training. Baik saat berangkat maupun pulangnya. Jarak hotel dengan lokasi training sekitar 1,6 km.
Sebenarnya malam itu jadwal kami pindah hotel. Lha kenapa? Ya karena ketika kami pesan hotel yang pertama yaitu Weisses Kreuz (saya lupa via Traveloka atau Booking.com), jadwal di tanggal 14 Desember 2019-nya ternyata sudah penuh. Terpaksa kami harus mencari hotel yang lain. Kolega kami disana menyarankan pindah ke hotel Sepats. Sebuah hotel yang secara lokasi bisa dibilang cukup dekat, berada tak jauh dari stasiun Lyss. Hanya satu malam saja kami pindah dan menginap di Hotel Sepats. Sedangkan esoknya, kami bisa kembali lagi ke Weisses Kreuz.
Dengan alasan berat membawa koper dan barang-barang lainnya dari Weisses Kreuz, beberapa dari kami menitipkan koper-koper tersebut di hotel Weisses Kreuz saja. Hanya barang-barang seperlunya saja yang dibawa ke hotel Sepats. Toh cuma pindah satu hari saja kan? Namun, saya sendiri memilih menenteng koper besar itu. Berat sih, tapi rasanya kok nyaman dan aman dibawa saja.
Sabtu, 14 Desember 2019
Haripun berganti. Inilah saat-saat yang kami tunggu-tunggu. Weekend pertama dan satu-satunya selama kami berada di Swiss. Kami harus benar-benar memanfaatkannya dengan pergi jalan-jalan. Setelah berdiskusi dengan mbak dan mas-mas yang lain di malam sebelumnya, kami bersepakat tujuan pertama adalah ke kota Aarberg, selanjutnya baru Biel / Bienne. Berdasarkan informasi yang kami dapat dari Schwab, di Aarberg terdapat sebuah kota tua.
Sebelum berangkat, terlebih dulu kami menikmati sarapan di hotel Sepats. Saat itu saya hanya berharap, akan mendapatkan menu sarapan yang berbeda, setelah di hari-hari sebelumnya kita terbiasa memulai hari dengan makan roti. Syukur-syukur dikasih omelet atau omurice.
Ternyata, harapan tinggal lah harapan. Hidangan yang disajikan masih roti-rotian, Croissant dan sejenis 'Baguette'. Sedikit syok saat mengetahui menunya hanya yang sudah tersedia di meja saja. Tak bisa nambah. Alasan dari pihak hotel, sang koki sedang liburan. Tapi sebenarnya, menu di meja itu sudah masuk kategori banyak, buktinya kami tetap kenyang. Alhamdulillah.
Menu sarapan yaitu croissant dan coffee dengan creamer |
Setelah menyelesaikan agenda sarapan (baca juga makanan selama di Swiss), kami bersiap untuk pergi. Sebelum berangkat, saya kembali mengecek beberapa perlengkapan yang harus dibawa. Jaket, sarung tangan, payung, kupluk, botol air minum dan makanan kecil. Untuk makanan kecil, cocok sekali dengan membawa roti Croissant sisa sarapan tadi.
Naik Bus
Jarak Lyss ke Aarberg sebenarnya cukup dekat, tak lebih dari 6 km. Ada dua pilihan untuk menuju ke Aarberg, yaitu naik kereta atau bus. Kami memilih
naik bus saja. Alasannya sederhana, kami ingin menjajal jenis moda
transportasi yang lain di sini. Agar lebih banyak mencicip pengalaman.
Jarak Lyss ke Aarberg |
Setelah berjalan beberapa menit, kami sampai di terminal bus. Lokasinya tepat di samping Stasiun Lyss. Suasananya sepi, tak ada satupun calo yang berteriak-teriak mencari 'korban' menawarkan bus seperti di tanah air. Benar-benar terminal yang aman dan nyaman .
Papan informasi Terminal Lyss |
Di bagian Halte nya terdapat papan informasi digital jadwal keberangkatan bus. Kita bisa tahu kapan bus akan datang dan pergi, juga arah mau kemana. Jadwalnya sudah pasti, tak harus menunggu penumpang penuh.
Sambil menunggu bus datang kami duduk-duduk di Halte, ada pula yang foto-foto. Sepi sekali pagi itu. Selain kami, ada seorang gadis muda berperawakan tinggi berdiri di dekat kami. Sekelebat ide tiba-tiba muncul. Ide minta tolong untuk memfoto kami ber-empat. Sopan nggak sih? ha ha.
Kami membujuk Nala, satu-satunya perempuan dalam rombongan kami agar sedikit berbasa-basi ke mbak-nya sebelum minta tolong. Dari obrolan, rupanya gadis itu pernah berkunjung dan tinggal di Indonesia. Meski tak lama, dia pernah ke Sulawesi dan beberapa lamanya tinggal disana. Selesai berbasa-basi, jurus terakhirpun dikeluarkan, minta difoto.
Dan inilah hasil jepretan si gadis Swiss tadi.
Mengabadikan momen saat di terminal Lyss |
Tak lama berselang, bus yang kita nanti-nantikan akhirnya datang juga. Sebuah articulated bus berwarna merah berhenti tepat di samping Halte. Kami dibuat excited dengan kondisi bus yang sangat bersih. Sebelum mencari tempat duduk, kami terlebih dahulu mondar-mandir melihat-lihat interior bus. Maklum, baru pertama kali naik bus, jadi agak cengengesan disana-sini. Tidak sadar, gerak-gerik kami dipantau oleh orang tak dikenal.
Suasana Terminal Lyss |
Normalnya kami harus membeli tiket terlebih dahulu sebelum naik ke dalam bus. Namun, karena baru pertama kali naik bus di negara ini, kami pun kebingungan, tak tahu bagaimana caranya naik bus. Sayangnya, kami juga tidak mencari referensi sebelumnya tentang bagaimana cara naik bus. Pikir kami, tiketnya bisa dibeli langsung di dalam bus atau bisa pakai uang cash.
Usaha kami adalah melobi pak supir, agar dapat menggunakan uang cash. Dan alhamdulillah, lobipun berhasil setelah sebelumnya kena omelan karena dianggap kami bertingkah kurang sopan. Padahal ya biasa ae lho pak..pak! Gerutu kami dengan nada kesal.
Beberapa menit duduk terdiam dan introspeksi diri didalam bus, jadwal keberangkatan pun tiba. Bus mulai bergerak dengan akselerasi sedang. Menyusuri jalan-jalan yang biasa kita lalui dengan jalan kaki. Beberapa menit bergerak, kamipun melintasi area persawahan yang menandakan kami sudah keluar dari desa Lyss.
Menuju Aarberg, Artistik Sang Kota Tua
Jarak antara Lyss dan Aarberg memang dekat. Tak lebih dari perjalanan 10 menit, kamipun sudah tiba di kota Aarberg. Mirip dengan Lyss, lokasi terminal di kota Aarberg juga bersebelahan dengan Stasiun Aarberg.
Ah, saya jadi paham mengapa di halte ataupun di dalam bus tidak kami temukan mesin tiket? Itu karena lokasi pembelian tiketnya sudah disediakan di area stasiun. Sedangkan halte bus dan stasiun kereta berada di lokasi yang berdekatan. Saat kita membeli tiket harian (single ticket), itu bisa dipakai untuk naik bus dan kereta selama masih berada dalam satu zona. Cukup memudahkan, satu tiket untuk semua.
Keluar dari bus, kami seperti orang hilang, clingak-clinguk bingung mencari lokasi sang Kota Tua.
Bersambung ...
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya ya sobat blogger. Terima kasih juga sudah menggunakan kalimat yang sopan serta tidak mengandung unsur SARA dan pornografi. Komentar yang tidak sesuai, mohon maaf akan dihapus tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Btw, tunggu kunjungan saya di blog anda yah.. salam blogger